Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi Islam itu sendiri.Dalam tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. (632 M), kaum Muslim telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang diistilahkan “pembukaan negeri-negeri‟ (futuh al-buldan) itu berlangsung pesat tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil ditaklukkan. Maka tak sampai satu abad, pada 750 M, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan Alexander the Great di Asia (Kaukasus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Marokko), mencakup Mesopotamia (Iraq), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, plus semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) dan India.
Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau kepercayaan lokal kedalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban setempat. Proses interaksi yang berlangsung alami namun intensif ini tidak lain dan tidak bukan adalah gerakan “Islamisasi” (ada juga yang lebih suka menyebutnya sebagai naturalisasi, integralisasi, atau assimilasi), dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih dan disaring dulu sebelum kemudian diserap. Hal-hal yang positif dan sejalan dengan Islam dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan, sementara elemen-elemen yang tidak sesuai dengan kerangka dasar ajaran Islam ditolak dan dibuang.
Dalam proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong untuk mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya. Ini dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan. Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad. Khalifah al-Ma‟mūn (w. 833 M) mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Menjelang akhir abad ke-9 Masehi, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan alchemy. Muncullah orang-orang seperti Abu Bakr al-Razi (Rhazes), Jabir ibn Hayyan (Geber), al-Khawarizmi (Algorithm), Ibn Sina (Avicenna) dan masih banyak sederetan nama besar lainnya. Kegemilangan itu berlangsung sekitar lima abad lamanya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas luar biasa.Sebagai ilustrasi, al-Battani (w. 929) mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kritik terhadap teori-teori Ptolemy juga telah dilontarkan oleh Ibn Rusyd (w. 1198) dan al-Bitruji (w. 1190). Dalam bidang fisika, Ibn Bajjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia (Spanyol), Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat Roger Bacon (w. 1292) dan belakangan dipopulerkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519). Ada banyak aspek yang menyebabkan sains atau komunitas ilmuwan berkembang, namun sekurangnya dapat dirangkum pada tiga faktor utama yang saling berkaitan: pertama, adanya suatu worldview dari masyarakatnya yang mendukung, worldview ini dapat berupa suatu pandangan hidup, agama, filosofi, dan lain-lain. Kedua, apresiasi dari masyarakat, yakni sikap dan penghargaan masyarakat terhadap para ilmuwan. Ketiga, adanya patronase dan dukungan dari penguasa. Pertama, dorongan sebuah worldview dalam kemajuan sains merupakan unsur paling penting. Dalam Islam, worldview ini terpancar dari sumber utamanya yakni al-Qur‟an dan Sunnah. Motif agama dalam mempelajari sains ini dapat kita temui dari pengakuan seorang ilmuwan terkemuka al-Khawarizmi:
"Agamalah yang mendorong saya menyusun karya tulis singkat dalam hal hitungan dengan memakai prinsip operasi hitung seperti penambahan dan pengurangan, yang bermanfaat untuk pengguna aritmatika, biasa diibaratkan para pria yang terlibat dalam persoalan benda pusaka, warisan, perkara hukum, dan perdagangan serta dalam segala kesepakatan kerja atau yang bertalian dengan pengukuran dalamnya tanah, penggalian kanal, perhitungan geometri dan segala jenis objek dan yang ditekuninya."
Para ilmuwan muslim pada umumnya tidak pernah menjadikan harta dan jabatan sebagai tujuan untuk pencarian ilmu. Sebaliknya, harta dan jabatan adalah sarana untuk pencarian ilmu. Ibnu Rusyd, Ibn Hazm, dan Ibn Khaldun adalah ilmuwan yang berasal dari keluarga kaya. Kekayaannya tidak menghentikan mereka dalam pencarian ilmu. Sebaliknya, al-Jahid, Ibn Siddah, Ibn Baqi, al-Bajji, adalah beberapa contoh ilmuwan yang miskin, namun kemiskinan tidak menghalangi kegairahan mereka terhadap ilmu. Jadi jelas bahwa harta dan kekayaan bukan tujuan mereka, ada dan tidak adanya harta tidak mengurangi gairah mereka terhadap ilmu. Ada suatu motif yang lebih luhur dalam pencarian mereka terhadap ilmu. Sikap dan pandangan para ilmuwan Islam ini tentu lahir dari sebuah konsep tentang ilmu, lebih luas lagi dari sebuah pandangan hidup, yakni worldview Islam.
Kedua, sikap masyarakat yang menghargai ilmu dan ilmuwan sesungguhnya lahir dari masyarakat yang sadar akan pentingnya ilmu. Sekali lagi, dorongan ini pun lahir dari motif agama. Penghormatan (adab) mereka yang khas terhadap “ulama” merupakan sesuatu yang unik dan sulit ditemui dalam masyarakat manapun, penghormatan yang bukan berasal dari pengkultusan individu, namun berasal dari suatu kesadaran akan mulianya ilmu dan mereka yang membawanya. Sebagai contoh ketika Imam al-Razi mendatangi Herat untuk berceramah, seluruh penduduk kota menyambutnya dengan sangat meriah bagaikan suatu hari raya, dan masjid raya pun penuh sesak dipenuhi jama„ah yang hendak mendengarkannya (Kartanegara 1999).
Ketiga, peran dukungan atau patronase dari penguasa, misalnya berupa dana, merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Imam Asy-Syafi„i dalam ad-Diwan pun menegaskan bahwa salah satu syarat untuk memperoleh ilmu adalah adanya harta untuk memenuhi fasilitas penuntut ilmu. Bentuk-bentuk patronase yang dialami oleh ilmuwan muslim adalah undangan untuk memberikan orasi ilmiah di istana dan didengarkan oleh para penguasa; pembangunan sarana pendidikan seperti akademi, observatorium, perpustakaan,rumah sakit, madrasah, dan lain-lain penyelenggaraan event ilmiah seperti seminar, pemberian beasiswa, pemberian insentif pada karya-karya para ilmuwan.
0 komentar:
Posting Komentar